 Gempa dan Tsunami yang menguncang Jepang dan menelan korban relatif  kecil beberapa waktu lalu membuktikan bahwa penanganan bencana di Negara  Matahari Terbit tersebut sangat tangguh. Tak hanya bencana tsunami,  Jepang juga dianggap tangguh dalam menangani bencana alam seperti  letusan gunung berapi.
Gempa dan Tsunami yang menguncang Jepang dan menelan korban relatif  kecil beberapa waktu lalu membuktikan bahwa penanganan bencana di Negara  Matahari Terbit tersebut sangat tangguh. Tak hanya bencana tsunami,  Jepang juga dianggap tangguh dalam menangani bencana alam seperti  letusan gunung berapi.Indonesia, sebagai negara yang memiliki gunung berapi terbanyak di  dunia, menghendaki agar penanganan bencana Jepang dapat ditiru oleh  negara ini. Bagaimana sebenarnya perbedaan penanganan bencana alam  diantara kedua negara?
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono dalam perbincangan dengan VIVAnews.com,  Sabtu, 6 Agustus 2011 mengakui bahwa pemerintah Indonesia melalui  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku agar penanganan bencana  alam, khususnya letusan gunung berapi, di Indonesia bisa mengikuti  Jepang. "SBY menghendaki Indonesia demikian juga (meniru Jepang),"  katanya.
Surono menjelaskan, penanganan bencana alam gunung berapi di Jepang  memang sangat handal. Pemerintah Jepang umumnya menempatkan sedikitnya 1  orang profesor dan 3-5 orang doktor untuk memantau pergerakan gunung  berapi.
Para pengamat ini biasanya dibekali oleh sejumlah sistem dan peralatan penunjang yang sudah canggih dan lengkap.
Sementara untuk Indonesia, ungkap Surono, pengamatan gunung berapi  umumnya ditangani oleh sedikit ahli. Diketahui dari 5 gunung berapi yang  ada di Indonesia, hanya ada 1 orang ahli yang ditempatkan.
Padahal saat ini, PVMBG mencatat setidaknya ada 18 gunung berapi yang  sudah berstatus diatas normal. Sebanyak 2 gunung berapi berstatus siaga  dan 16 lainnya berstatus waspada.
Tidak hanya dari segi sumber daya manusia (SDM), Surono juga  mengungkapkan bahwa anggaran yang dikeluarkan pemerintah Jepang untuk  penanganan bencana jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.
Untuk satu gunung saja, Jepang menganggarkan sedikitnya 30 juta Yen  untuk pemasangan alat pemantau aktivitas gunung berapi. Di setiap  gunung, setidaknya dipasang alat seismik sebanyak 20-30 unit.
Bandingkan dengan Indonesia. Pada kasus letusan Gunung Merapi lalu,  pemerintah hanya menyediakan alat seismik sebanyak 4 unit dan 1 unit  alat berupa laser.
Namun di tengah perbedaan yang mencolok itu, diakui Surono, kemampuan  Jepang untuk mengadakan peralatan dan SDM memang membutuhkan anggaran  yang sangat besar.
"Jepang banyak menggunakan alat yang canggih dan terkomputerisasi  karena gaji pegawai disana sangat mahal. Untungnya Indonesia memiliki  pengamat yang murah," ujar Surono.
Dia menambahkan, sulitnya penambahan jumlah SDM yang bergerak di  bidang vulkanologi dikarenakan dunia kerja ini tidak mudah merekrut  masyarakat untuk bergelur didalamnya.
Saat ini, ungkap Surono, pihaknya hanya memiliki staf sebanyak kurang  dari 400 orang. Dari jumlah itu, sebagian ada yang diperbantukan untuk  penanganan bencana di luar gunung berapi seperti longsor, gempa bumi,  dan jenis bencana alam lainnya.
Meski mengakui masih banyaknya kekurangan dibandingkan Jepang, Surono  menyatakan Indonesia setidaknya kini sudah bisa mandiri dalam hal  teknologi, serta mampu mencontek sistem peralatan pemantauan aktivitas  gunung berapi.
"Kondisi ini, bukan alasan kami ingin bisa meningkatkan penelitian  dengan SDM yang terbatas. Fokus dari kami tetap pada upaya penyelamatan  manusia," ujar Surono seraya berharap agar Pemerintah Daerah juga turut  membantu jika daerahnya ditetapkan sebagai kawasan yang terancam bahaya  bencana alam. (sj)
sumber : VIVAnews                 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar