Isu mengejutkan itu beredar liar melalui pesan pendek (SMS) dan Blackberry Messenger: Jakarta akan diguncang gempa dahsyat 8,7 skala Richter. Informasi itu merujuk pernyataan yang disampaikan Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief soal potensi lindu di ibu kota.
Namun, Andi membantah bahwa ia memastikan Jakarta bakal diguncang gempa besar. “Dalam beberapa kesempatan tidak pernah saya menyebut Jakarta akan diguncang gempa, tapi Jakarta dipengaruhi gempa yang terjadi di daerah sekitarnya,” kata dia di kantor staf khusus presiden, Rabu 18 Mei 2011.
Meski demikian, soal potensi gempa ibu kota, bukan sekedar omong kosong, melainkan berdasarkan hasil penelitian ilmiah. “Yang bisa mematahkan ini adalah hasil penelitian,” kata Andi. “Selama tidak ada, saya kira kita harus mempercayainya dan ini kenyataan.”
Ditilik dari sejarahnya, Jakarta pernah diguncang gempa besar pada 1699, 1752, 1722, dan 1757. Pusat gempa berada di luar Jakarta. Soal pengaruh gempa, Andi mencontohkan, gempa yang terjadi di Kota Meksiko pada 1985. Kala itu, ibu kota hancur akibat gempa 8,1 skala Richter. Penelusuran VIVAnews, saat itu 10.000 orang tewas akibat tertimpa reruntuhan gedung yang runtuh. Total kerugian yang diderita pemerintah negara itu mencapai lebih dari US$4 juta dollar. Padahal, jarak antara Kota Meksiko dengan pusat gempa relatif jauh, 379 kilometer.
Bandingkan dengan jarak antara Selat Sunda dengan Jakarta yang tidak sampai 200 kilometer. Apalagi, ada kesamaan antara Kota Meksiko dengan Jakarta. “Struktur tanahnya sama, labil," kata dia. Terlebih lagi di Jakarta Utara yang merupakan tanah bekas reklamasi. “Gampang-gampangan saja. Kalau 5,1 SR goyang, masa 8 koma tidak goyang,” kata dia.
Bukannya menjadikan informasi ini sebagai sebuah kontroversi, yang terpenting justru mengantisipasi kemungkinan terburuk. Apalagi Jakarta adalah kota utama, segala urusan negara ini tumplek di ibu kota. "Lebih baik kita ambil hikmahnya untuk persiapan mitigasi,” kata Andi.
Bisa dicontoh apa yang dilakukan Amerika Serikat dan Jepang. Jauh-jauh hari dua negara itu sudah memprediksi bakal ada gempa besar. “Beberapa dokumen-dokumen penting sudah disimpan di tempat-tempat emergency plan,” ujar mantan aktivis 98 itu.
Bagaimana dengan reaksi masyarakat yang panik akibat informasi tersebut? Dikatakan Andi, kepanikan masyarakat justru pertanda baik, mereka masih peduli dengan nasibnya. Justru mengherankan jika reaksi warga tenang-tenang saja. “Saya bersyukur ada yang panik,” kata Andi.
Tak cukup panik sesaat, masyarakat juga harus bertindak. Menjadikan hasil penelitian ilmiah sebagai dasar upaya antisipasi. Justru salah jika informasi sepenting ini dipendam, tanpa diketahui masyarakat. “Ibarat perang, bukan hanya TNI/ Polri, tapi masyarakat juga tahu agar bersama sama menyiapkan diri," ujar Andi.
Reaksi Gubernur Sumatera Barat yang mengindahkan hasil penelitian dan bersiap menghadapi potensi gempa bisa jadi inspirasi. "Sumbar mempercayai itu (penelitian ilmiah) sekarang pindah ibukota, 15 kilometer menjauhi pantai," kata dia. Selain itu antisipasi terhadap bencana juga dilakukan dengan membangun shelter-shelter mini.
Bandingkan dengan jarak antara Selat Sunda dengan Jakarta yang tidak sampai 200 kilometer. Apalagi, ada kesamaan antara Kota Meksiko dengan Jakarta. “Struktur tanahnya sama, labil," kata dia. Terlebih lagi di Jakarta Utara yang merupakan tanah bekas reklamasi. “Gampang-gampangan saja. Kalau 5,1 SR goyang, masa 8 koma tidak goyang,” kata dia.
Bukannya menjadikan informasi ini sebagai sebuah kontroversi, yang terpenting justru mengantisipasi kemungkinan terburuk. Apalagi Jakarta adalah kota utama, segala urusan negara ini tumplek di ibu kota. "Lebih baik kita ambil hikmahnya untuk persiapan mitigasi,” kata Andi.
Bisa dicontoh apa yang dilakukan Amerika Serikat dan Jepang. Jauh-jauh hari dua negara itu sudah memprediksi bakal ada gempa besar. “Beberapa dokumen-dokumen penting sudah disimpan di tempat-tempat emergency plan,” ujar mantan aktivis 98 itu.
Bagaimana dengan reaksi masyarakat yang panik akibat informasi tersebut? Dikatakan Andi, kepanikan masyarakat justru pertanda baik, mereka masih peduli dengan nasibnya. Justru mengherankan jika reaksi warga tenang-tenang saja. “Saya bersyukur ada yang panik,” kata Andi.
Tak cukup panik sesaat, masyarakat juga harus bertindak. Menjadikan hasil penelitian ilmiah sebagai dasar upaya antisipasi. Justru salah jika informasi sepenting ini dipendam, tanpa diketahui masyarakat. “Ibarat perang, bukan hanya TNI/ Polri, tapi masyarakat juga tahu agar bersama sama menyiapkan diri," ujar Andi.
Reaksi Gubernur Sumatera Barat yang mengindahkan hasil penelitian dan bersiap menghadapi potensi gempa bisa jadi inspirasi. "Sumbar mempercayai itu (penelitian ilmiah) sekarang pindah ibukota, 15 kilometer menjauhi pantai," kata dia. Selain itu antisipasi terhadap bencana juga dilakukan dengan membangun shelter-shelter mini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar