April 1996 silam, Presiden RI yang kedua, Soeharto, memutuskan menukar dua pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara, CN-235, dengan beras ketan Thailand. Kebijakan itu kemudian menjadi olok-olok. Banyak orang yang merasa terhina.
Bagaimana mungkin produk unggulan nasional itu cuma ditukar dengan 110.000 ton beras ketan? Bagaimana mungkin ratusan insinyur kita yang cerdas gemilang itu, disetarakan dengan para petani di Thailand. Harga dua pesawat itu mencapai US$34 juta atau Rp78,2 miliar.
Banyak pertanyaan seputar kasus ini, juga banyak liputan media massa. Tapi sangat sedikit yang mengungkap apa dibalik peristiwa itu. Dalam buku "Pak Harto, The Untold Stories" cerita dibalik barter itu terungkap. Buku itu diluncurkan Rabu, 8 Juni 2011 pekan lalu, bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Soeharto.
Adalah Tengku Zulkarnain, salah satu ulama asal Medan yang dekat dengan Soeharto, yang menuturkan kisah ini dalam buku itu.
Menurut Tengku Zulkarnain, dalam suatu pertemuan setelah Soeharto lengser, ia menanyakan beberapa hal yang saat Soeharto masih berkuasa sering diributkan orang. "Pak, dulu beberapa orang merasa terhina ketika Bapak menjual pesawat buatan Indonesia CN-235 secara barter dengan beras ketan dari negara lain."
Menurut Tengku Zulkarnain, dalam suatu pertemuan setelah Soeharto lengser, ia menanyakan beberapa hal yang saat Soeharto masih berkuasa sering diributkan orang. "Pak, dulu beberapa orang merasa terhina ketika Bapak menjual pesawat buatan Indonesia CN-235 secara barter dengan beras ketan dari negara lain."
Saat itu, cerita Tengku, Pak Harto menjawab pertanyaannya dengan tenang. "Sebenarnya saya meniru Indira Gandhi yang ketika menjual bus Damri kepada kita, ia tidak mau dibayar dengan dolar. Indira minta bus-bus itu dibarter saja dengan beras yang di negara kita saat itu surplus.
Mengapa? Indira mengatakan, 'Jika dibayar dengan dolar, sesudahnya mereka mesti mengimpor beras dan dikenai pajak sepuluh persen. Kalau barter kan tidak kena pajak, sehingga seluruh hasil penjualan bisa seratus persen untuk rakyat'. Nah, kalau saya membarter pesawat itu dengan beras ketan, wong kita memang sedang perlu kok," kata Pak Harto.
Tengku lalu mengingatkan kepada Pak Harto soal pameo orang tentang CN-235, yang dinamai Tetuko. Sebab gara-gara pesawat itu ditukar dengan beras ketan, namanya kemudian diplesetkan menjadi sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku (yang membeli tidak kunjung datang, yang datang tidak kunjung beli). Saat itu Pak Harto hanya tertawa.
Kini kehebatan IPTN sebagai penghasil pesawat tidak terdengar lagi. Perusahaan yang belakangan diganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia itu 'porak-poranda' setelah krisis ekonomi melanda Indonesia.
Tengku lalu mengingatkan kepada Pak Harto soal pameo orang tentang CN-235, yang dinamai Tetuko. Sebab gara-gara pesawat itu ditukar dengan beras ketan, namanya kemudian diplesetkan menjadi sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku (yang membeli tidak kunjung datang, yang datang tidak kunjung beli). Saat itu Pak Harto hanya tertawa.
Kini kehebatan IPTN sebagai penghasil pesawat tidak terdengar lagi. Perusahaan yang belakangan diganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia itu 'porak-poranda' setelah krisis ekonomi melanda Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar