SETELAH bergulirnya Tetralogi Sisa Lain SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), kini sosok Pak Kalla (Jusuf Kalla) menjadi obyek bahasan Wisnu Nugroho. Pun, sama seperti buku sebelumnya, buku yang mengupas sisi lain dari Pak Kalla ini juga berisi banyak hal yang luput dari pemberitaan media massa.
Apa yang terpikirkan pertama kali dari sosok Pak Kalla menurut sebagian masyarakat adalah Pak Kalla yang cekatan. Tidak lamban ketika mengambil keputusan. Penuh dengan inovasi dan berbagai terobosan.
Pak Kalla memang terkenal akan kecekatannya. Cepat dalam mengambil keputusan untuk sebuah kebijakan yang tidak populer sekalipun. Tidak lamban. Walau cepat dalam mengambil keputusan, toh bukan berarti beliau tidak berpikir untung-ruginya. Untuk soal itu, janganlah diragukan lagi karena Pak Kalla adalah seorang pengusaha sejak mudanya
Kecekatannya juga bisa dilihat dari gerak-geriknya ketika menjadi pembicara di berbagai tempat. Pembawaannya yang tidak kaku dan juga tidak terlalu formal menguntungkan dirinya untuk lebih leluasa menyapa para audien. Jarang kita saksikan Pak Kalla berpidato dengan menggunakan naskah pidato yang telah disiapkan oleh ‘tim back-up naskah pidato’. Pak Kalla justru kerap mencampakkannya karena substansi naskah pidato hanya merupakan copy dan paste dari pidato-pidato sebelumnya yang selalu sama dalam berbagai acara sekalipun.
Beliau juga lebih komunikatif dalam pidatonya. Para audien justru merasa senang karena gaya pidato yang semacam itu tidak membosankan. Untuk soal ini, kita tentu tidak pernah menjumpai Pak Kalla marah-marah karena semisal ada audien yang tertidur tidak mendengarkan pidato beliau.
Terkait urusan pidato serta tanya jawab, Pak Kalla selalu mengenakan dua benda ”keramatnya”: ballpoint dan notes yang seukuran telapak tangan dewasa untuk menampung pertanyaan yang diajukan kepadanya. Soal ballpoint, sebagian dari kita mungkin kaget. Pasalnya, ballpoint yang digunakan Pak Kalla adalah ballpoint yang harganya terlalu terjangkau untuk semua kalangan. Ballpoint Pak Kalla bukan sebuah ballpoint yang sering diiklankan oleh majalah-majalah impor yang lazimnya dikoleksi para elite negeri ini.
Kenangan lain dari Pak Kalla adalah sifatnya yang humoris. Di setiap pidatonya, beliau tak pernah lupa menyisipkan selera humornya yang tinggi. Tawanya selalu mengembang. Sayang sedikit, intonasi berbicaranya terlalu cepat sehingga tak jarang membuat audien sukar mencernanya.
Jumpa pers yang biasanya kita temukan kaku dan terlalu formal menjadi nihil ketika bertempat di Istana Wapres setiap selepas Shalat Jum’at. Sebaliknya, ajang ‘ger-geran’ khas Pak Kalla pun menjadi makanan wajib para kuli tinta selain jamuan berupa nasi kotak tentunya. Wartawan bebas bertanya apa saja.
Pertanyaan yang akan diajukan kepada Pak Kalla pun juga tidak diatur-atur. Maka tak heran, jika hari Jum’at, para wartawan Istana Wapres kerap kebanjiran berita karena banyak sekali penyataan Pak Kalla yang terlontar. Saking penuh tawa dan nuansa keakraban, jumpa pers rutin ala Pak Kalla diplesetkan oleh penulis buku dengan istilah jumpa canda.
Cara Pak Kalla dalam menghadapi pengunjuk rasa juga perlu diapresiasi. Sewaktu Hari Buruh, seperti biasa, ribuan buruh mendatangi Istana Merdeka untuk bertemu RI-1 guna menuntut kesejahteraan. Nah, karena Istana Presiden waktu itu kosong ditinggal penghuninya, ribuan pengunjuk rasa yang diliputi kekecewaan karena tidak bisa bertemu RI-1, kemudian langsung menuju Istana Wapres (hal 121).
Di sana, Pak Kalla ada di tempat dan langsung menyambutnya. Beliau menawarkan dialog. Kemudian beliau memersilakan perwakilan pengunjuk rasa masuk Istana Wapres untuk menyampaikan aspirasinya. Hal yang sama juga beliau lakukan saat pengunjuk rasa menghadang kedatangannya ketika meninjau korban bencana Situ Gintung. Bukannya menghindar, beliau justru menghampirinya lalu mengajak berdialog dengan mereka.
Hal yang paling penting dari buku yang dianggap oleh penulisnya sendiri menyajikan informasi yang kurang penting ini adalah bagaimana peranan Pak Kalla yang besar dalam menghadapi pelbagai permasalahan bangsa waktu itu. Rasanya beliau pula yang secara langsung mempraktikkan bahwa keberadaan wakil presiden bukan sekadar lagi sebagai ban cadangan. Melainkan ibarat sebagai ban mobil sebelah kiri yang fungsinya sama sejajar dengan ban sebelah kanan (presiden).
Setidaknya hal itu tergambar ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) lebih dari seratus persen dan tatkala ketika menghadapi para pengunjuk rasa: baik unjuk rasa kenaikan harga BBM tersebut maupun unjuk rasa kaum buruh. Di situlah keberadaan Pak Kalla sebagai wapres benar-benar terasa.
Terakhir, soal cara kerja Pak Beye dan Pak Kalla, di bagian akhir buku ini telah menyuguhkan pertanyaan yang cukup nakal: (jadi, di antara dua tokoh ini), siapa pemimpin sesungguhnya? Kita semua tentu tahu jawabannya.
Beliau juga lebih komunikatif dalam pidatonya. Para audien justru merasa senang karena gaya pidato yang semacam itu tidak membosankan. Untuk soal ini, kita tentu tidak pernah menjumpai Pak Kalla marah-marah karena semisal ada audien yang tertidur tidak mendengarkan pidato beliau.
Terkait urusan pidato serta tanya jawab, Pak Kalla selalu mengenakan dua benda ”keramatnya”: ballpoint dan notes yang seukuran telapak tangan dewasa untuk menampung pertanyaan yang diajukan kepadanya. Soal ballpoint, sebagian dari kita mungkin kaget. Pasalnya, ballpoint yang digunakan Pak Kalla adalah ballpoint yang harganya terlalu terjangkau untuk semua kalangan. Ballpoint Pak Kalla bukan sebuah ballpoint yang sering diiklankan oleh majalah-majalah impor yang lazimnya dikoleksi para elite negeri ini.
Kenangan lain dari Pak Kalla adalah sifatnya yang humoris. Di setiap pidatonya, beliau tak pernah lupa menyisipkan selera humornya yang tinggi. Tawanya selalu mengembang. Sayang sedikit, intonasi berbicaranya terlalu cepat sehingga tak jarang membuat audien sukar mencernanya.
Jumpa pers yang biasanya kita temukan kaku dan terlalu formal menjadi nihil ketika bertempat di Istana Wapres setiap selepas Shalat Jum’at. Sebaliknya, ajang ‘ger-geran’ khas Pak Kalla pun menjadi makanan wajib para kuli tinta selain jamuan berupa nasi kotak tentunya. Wartawan bebas bertanya apa saja.
Pertanyaan yang akan diajukan kepada Pak Kalla pun juga tidak diatur-atur. Maka tak heran, jika hari Jum’at, para wartawan Istana Wapres kerap kebanjiran berita karena banyak sekali penyataan Pak Kalla yang terlontar. Saking penuh tawa dan nuansa keakraban, jumpa pers rutin ala Pak Kalla diplesetkan oleh penulis buku dengan istilah jumpa canda.
Cara Pak Kalla dalam menghadapi pengunjuk rasa juga perlu diapresiasi. Sewaktu Hari Buruh, seperti biasa, ribuan buruh mendatangi Istana Merdeka untuk bertemu RI-1 guna menuntut kesejahteraan. Nah, karena Istana Presiden waktu itu kosong ditinggal penghuninya, ribuan pengunjuk rasa yang diliputi kekecewaan karena tidak bisa bertemu RI-1, kemudian langsung menuju Istana Wapres (hal 121).
Di sana, Pak Kalla ada di tempat dan langsung menyambutnya. Beliau menawarkan dialog. Kemudian beliau memersilakan perwakilan pengunjuk rasa masuk Istana Wapres untuk menyampaikan aspirasinya. Hal yang sama juga beliau lakukan saat pengunjuk rasa menghadang kedatangannya ketika meninjau korban bencana Situ Gintung. Bukannya menghindar, beliau justru menghampirinya lalu mengajak berdialog dengan mereka.
Hal yang paling penting dari buku yang dianggap oleh penulisnya sendiri menyajikan informasi yang kurang penting ini adalah bagaimana peranan Pak Kalla yang besar dalam menghadapi pelbagai permasalahan bangsa waktu itu. Rasanya beliau pula yang secara langsung mempraktikkan bahwa keberadaan wakil presiden bukan sekadar lagi sebagai ban cadangan. Melainkan ibarat sebagai ban mobil sebelah kiri yang fungsinya sama sejajar dengan ban sebelah kanan (presiden).
Setidaknya hal itu tergambar ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) lebih dari seratus persen dan tatkala ketika menghadapi para pengunjuk rasa: baik unjuk rasa kenaikan harga BBM tersebut maupun unjuk rasa kaum buruh. Di situlah keberadaan Pak Kalla sebagai wapres benar-benar terasa.
Terakhir, soal cara kerja Pak Beye dan Pak Kalla, di bagian akhir buku ini telah menyuguhkan pertanyaan yang cukup nakal: (jadi, di antara dua tokoh ini), siapa pemimpin sesungguhnya? Kita semua tentu tahu jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar